Jamaludin Lobang (Mahasiswa Kota Batam). (Foto : dok/ist) |
SMSNEWS.id | Batam - Di dalam negara demokrasi, kebebasan berpendapat atau menyampaikan pendapat merupakan suatu keharusan yang sejatinya milik warga negara dalam menyampaikan gagasan, ide, maupun keresahannya. Terlebih hal itu diatur pula oleh konstitusi, khususnya di Indonesia.
Dalam demokrasi sendiri, mempunyai suatu konsep yang disebut konstitusionalisme yang merupakan konsep berupa "Kekuasaan Perlu Dibatasi" agar penyelenggara negara tidak semena-mena. Dari konsep sederhana ini pula "Trias Politica" berdiri dari pemikiran John Locke.
Demokrasi sendiri menurut Rocky Gerung, ialah mempercepat sirkulasi elit politik agar terjadi regenerasi.
Didalam sebuah regenerasi atau sirkulasi elit politik atau yang lebih dikenal dengan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) untuk daerah Kabupaten/Kota, misalanya Kota Batam, dinilai perlu adanya kesiapan mental, gagasan maupun ide dalam menguasai forum perdebatan maupun kampanye dengan sebuah retorika.
Dan calon pemimpin seharusnya dalam menyampaikan pidato atau janji politik atau kampanye politik, perlulah melihat teori retorika dari Aristoteles dalam menyampaikan sebuah gagasan, ide, maupun kampanye politik tadi.
Kampanye politik sendiri ialah sebuah upaya yang terorganisir untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan para pemilih.
Biasanya mereka yang mempunyai gagasan akan memberikan ide segar, gagasan, buah pemikiran, yang dihasilkan dari dialektika dalam sebuah forum.
Mereka yang tidak mempunyai gagasan maupun ide dan pemahaman, cenderung menggunakan teori dari Machiavelli yang menyebutkan, bahwasanya untuk mendapatkan maupun mempertahankan kekuasaan, seorang penguasa diperbolehkan berbohong, menipu dan menindas.
Selain itu, mereka yang tidak mempunyai gagasan, cenderung bermain politik kotor seperti _money politics_ dan politisasi bansos.
Muncul sebuah pertanyaan, perlukan memilih pemimpin yang berjanji tanpa memberi uang, atau memilih pemimpin yang memberi uang, bansos maupun sejenisnya?
Didalam sebuah kampanye politik, khususnya pilkada, yang mana di Indonesia diselenggarakan lima tahun sekali, menurut pandangan penulis, perlu lah calon pemimpin berjanji dengan ide maupun gagasan dan janji-janji politik sejenisnya, karena pilkada maupun kampanye merupakan sebuah momentum dimana para calon pemimpin berjanji dan akan ditagih ketika mereka terpilih nantinya.
Berbeda lagi dengan mereka yang memberi bansos maupun politik uang, mereka tidak akan perduli dengan janji politik yang pernah diutarakan, mereka akan berfikir bagaimana caranya modal pertarungan pada saat pilkada tersebut bisa kembali di periode pertama menjabat.
Pada akhirnya apa yang terjadi? Masyarakat, mahasiswa, dan para petani akan berdemonstrasi mengisi setiap sudut kota menuntut untuk suaranya didengarkan, menagih janji-janji politik yang dulu pernah diutarakan, namun apa yang terjadi? Mereka lagi-lagi akan memikirkan bagaimana modal yang begitu besar ketika kampanye bisa kembali ke tangan mereka.
Hal demikian juga sebenarnya telah ditulis dalam sebuah buku yang berjudul "Pendidikan Kaum Tertindas" yang ditulis oleh Paulo Freire. Dalam buku itu Paulo menilai bagaimana orang kuat merendahkan masyarakat lemah melalui cara-cara halus namun menindas.
Lalu, bagaimana dengan pemimpin yang berani berdebat, mempunyai ide dan gagasan yang visioner?
Seorang calon pemimpin perlulah kiranya logika maupun gagasan-gagasan mereka diuji diruang akademis, khususnya di kampus tempat ide-ide segar dihasilkan dari dialektika.
Menurut Hegel, logika ialah bentuk yang diambil oleh ilmu berpikir secara umum. Ia berpendapat bahwa ilmu ini perlu dirombak ulang secara total dan radikal dari sudut pandang yang lebih tinggi.
Maka, dari pendapat Hegel tadi, perlulah kiranya ada sebuah perdebatan gagasan dan ide secara teoritis diruang akademis agar menghasilkan kembali ide baru sebagai solusi.
Pemimpin yang berani berdebat dalam forum akademis, mereka yang berani dicecar oleh mahasiswa, mereka yang berani diserang dengan sebuah argumen tanpa sentimen, dinilai lebih bijak dalam pengambilan keputusan maupun kepemimpinan kota.
Berbeda dengan mereka yang takut berdebat didalam forum akademis, takut dicecar oleh mahasiswa, dinilai tidak mempunyai argumen, pemikiran, gagasan, atau lebih tepatnya anti kritik dan tidak tepat dalam pengambilan keputusan maupun kepemimpinan.
Terlebih lagi, mereka calon pemimpin yang tidak berani datang ke kampus untuk memperdebatkan janji maupun kampanye politik mereka menggunakan logika Hegel yang dijelaskan diatas, dinilai bukanlah calon pemimpin yang tepat dalam memimpin sebuah Kabupaten/Kota, misalnya Kota Batam.
Oleh : Jamaludin Lobang (Mahasiswa Kota Batam)