Jonrius Sinurat (Mahasiswa Fakultas Hukum Unrika). (Foto : dok/ist) |
SMSNEWS.id | Batam - Secara umum, larangan dan sanksi terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terlibat dalam kampanye politik dapat memiliki beberapa argumen pro dan kontra. Di banyak negara, ASN diharapkan untuk menjaga netralitas dan independensi dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Hal ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan bahwa kepentingan publik diutamakan.
Argumen yang mendukung larangan dan sanksi terhadap ASN yang terlibat dalam kampanye politik adalah:
1. Netralitas
ASN diharapkan untuk tetap netral dan tidak memihak dalam politik. Dengan melarang mereka terlibat dalam kampanye politik, diharapkan mereka dapat menjalankan tugas-tugas pemerintahan dengan objektivitas dan keadilan.
2. Kepentingan Publik
ASN bertanggung jawab untuk melayani kepentingan publik secara profesional. Terlibat dalam kampanye politik dapat mengganggu kinerja mereka dan mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan. Larangan dan sanksi dapat memastikan bahwa ASN tetap fokus pada tugas-tugas pemerintahan dan memastikan kepentingan publik diutamakan.
3. Mencegah Konflik Kepentingan
Dengan melarang ASN terlibat dalam kampanye politik, diharapkan dapat mencegah terjadinya konflik kepentingan antara tugas-tugas pemerintahan dan kepentingan politik pribadi. Hal ini dapat memastikan bahwa ASN tidak menggunakan posisi dan sumber daya mereka untuk keuntungan politik pribadi.
Namun, ada juga argumen yang menentang larangan dan sanksi terhadap ASN yang terlibat dalam kampanye politik, seperti:
1. Hak Asasi
ASN juga memiliki hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik sebagai warga negara. Melarang mereka terlibat dalam kampanye politik dapat dianggap sebagai pembatasan terhadap hak-hak mereka. Partisipasi politik ASN dapat dianggap sebagai bentuk kebebasan berpendapat dan berpartisipasi dalam proses demokrasi.
2. Representasi
Terlibat dalam kampanye politik dapat memungkinkan ASN untuk mewakili dan memperjuangkan kepentingan masyarakat yang mereka layani. Partisipasi politik ASN dapat meningkatkan representasi dan keberagaman dalam proses politik.
3. Akuntabilitas
Dengan terlibat dalam kampanye politik, ASN dapat lebih akuntabel kepada publik dan masyarakat. Mereka dapat berperan dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat dan memastikan kebijakan yang diambil sesuai dengan kebutuhan rakyat. Partisipasi politik ASN dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan.
Penting untuk dicatat bahwa opini tentang larangan dan sanksi terhadap ASN yang terlibat dalam kampanye politik dapat bervariasi tergantung pada konteks dan negara tertentu. Setiap kebijakan yang berkaitan dengan hal ini harus dipertimbangkan dengan cermat, dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan kepentingan publik.
ASN Terlibat Kampanye Bisa Dipidana?
Sementara itu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum secara tegas mengatur sanksi bagi ASN yang melanggar larangan turut serta sebagai pelaksana dan tim kampanye.
Larangan Terhadap ASN Tidak Terlibat Kampanye Pemilu
• Pasal 280 ayat (3) Undang-Undang Pemilu, salah satunya menegaskan larangan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) ikut serta sebagai pelaksana dan tim kampanye pemilu.
• Pasal 283 Undang-Undang Pemilu menegaskan pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap Peserta Pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa Kampanye.
Larangan dimaksud meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Pihak yang Dilarang Ikut Kampanye
Selain ASN, Undang-Undang juga mengatur sejumlah pihak yang tidak dibolehkan ikut dalam kampanye politik. Pelaksana, peserta, dan tim kampanye dilarang mengikutsertakan:
• Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, Hakim Agung pada Mahkamah Agung, dan hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi.
• Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
• Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI).
• Direksi, Komisaris, Dewan Pengawas dan karyawan badan usaha milik negara (BUMN) atau badan usaha milik daerah (BUMD).
• Pejabat Negara bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai pimpinan di lembaga non struktural.
• Aparatur Sipil Negara (ASN), anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI).
• Kepala Desa, Perangkat Desa, anggota badan permusyawaratan desa, dan Warga Negara Indonesia (WNI) yang tidak memiliki hak memilih.
Sanksi Bagi ASN dan Pihak yang Dilarang Terlibat Kampanye Pemilu
• Setiap aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI), Kepala Desa, Perangkat Desa, dan/atau anggota badan permusyawaratan desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). Pasal 494 Undang-Undang Pemilu.
• Setiap pelaksana dan/atau tim Kampanye Pemilu yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). Pasal 493 Undang-Undang Pemilu.
• Setiap Ketua/Wakil Ketua/Ketua Muda/Hakim Agung/Hakim Konstitusi/hakim pada semua badan peradilan, Ketua/Wakil Ketua, dan/atau anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan/atau Deputi Gubernur Bank Indonesia, serta direksi, komisaris, dewan pengawas dan/atau karyawan badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). Pasal 522 Undang-Undang Pemilu.
Larangan dalam Pelaksanaan Kampanye
Undang-Undang dan Peraturan KPU mengatur hal-hal yang tidak boleh dilakukan dalam kampanye. Hal itu dipertegas melalui Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu.
Pelaksana, peserta, dan tim kampanye dilarang:
• Mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
• Melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
• Menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain.
• Menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat.
• Mengganggu ketertiban umum.
• Mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau Peserta Pemilu yang lain.
• Merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye Peserta Pemilu.
• Menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat ijin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye.
• Membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut selain dari tanda gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu yang bersangkutan.
• Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye Pemilu.
Larangan dan Sanksi Kampanye Singgung Isu SARA
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga secara tegas melarang kampanye yang menghina Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA)
Larangan Menghina Sara
• Pasal 280 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
Pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain.
Sanksi Pidana dan Denda
• Pasal 521 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan kampanye pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, atau huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Sanksi Diskualifikasi Menghina SARA
• Pasak 285 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 dan Pasal 284 yang dikenai kepada pelaksana Kampanye Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang berstatus sebagai calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota digunakan sebagai dasar KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk mengambil tindakan berupa:
- Pembatalan nama calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dari daftar calon tetap; atau
- Pembatalan penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebagai calon terpilih.
Beberapa waktu lalu, saat membuka kegiatan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pencegahan Pelanggaran Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemilu Serentak Tahun 2024, Senin (28/8/2023) lalu di Batam, Kepulauan Riau, Deputi Bidang Dukungan Teknis Bawaslu RI, La Bayoni juga telah mengingatkan bahwa pentingnya netralitas ASN dalam Pemilu adalah bentuk dari Pemilu yang jujur dan adil. Menurutnya, netralitas ASN menjadi prinsip penting untuk menghasilkan pemilu yang demokratis, berintegritas, dan jauh dari pengaruh pemihakan kepada kelompok dan golongan tertentu.
"Berdasarkan hal tersebut, Bawaslu mempunyai komitmen dan ikhtiar untuk menjaga netralitas ASN agar Pemilu Serentak Tahun 2024 berjalan jujur dan adil. Meskipun dalam kondisi situasi politik yang memanas, ASN harus tetap pada kedudukan profesional dan tidak memihak pada kontestan politik yang akan bertanding di Pemilu maupun Pemilihan," kata La Bayoni dikutip dari website Bawaslu RI www.bawaslu.go.id
Penulis : Jonrius Sinurat (Mahasiswa Fakultas Hukum Unrika)