Sebut Putusan PN Jakpus Ngawur, Dr. Tri Artanto : "Hakimnya Layak Diperiksa, Tidak Bisa Membedakan PMH Secara Perdata" Sebut Putusan PN Jakpus Ngawur, Dr. Tri Artanto : "Hakimnya Layak Diperiksa, Tidak Bisa Membedakan PMH Secara Perdata"

Sebut Putusan PN Jakpus Ngawur, Dr. Tri Artanto : "Hakimnya Layak Diperiksa, Tidak Bisa Membedakan PMH Secara Perdata"

Dekan Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan Batam, Dr. Tri Artanto, S.H., M.H. (Foto : dok/Js/ist)

SMSNEWS.id | Batam - Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) untuk menunda pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) yang seharusnya akan berlangsung pada tahun 2024 mendatang.

Perintah itu tertuang dalam putusan perdata yang sebelumnya diajukan oleh Partai Rakyat Adil Makmur (Partai Prima) yang mana dalam hal ini KPU sebagai tergugat pada tanggal 8 Desember 2022, dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst, untuk menunda Pemilu 2024. Putusan tersebut dibacakan oleh Majelis Hakim, Kamis (2/3/23) kemarin.

"Menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan tujuh hari," demikian disebutkan dikutip dari salinan putusan PN Jakpus.

Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim PN Jakpus, T. Oyong yang didampingi oleh Hakim anggota, yakni H. Bakri, dan Dominggus Silaban. Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Karena, menurut Majelis Hakim PN Jakpus itu, KPU menyatakan Partai Prima tidak memenuhi syarat dalam tahapan verifikasi administrasi sebagai partai politik calon peserta pemilu pada 2024 mendatang.

Menanggapi hal itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan (Unrika) Batam, Dr. Tri Artanto, S.H., M.H. menilai bahwa saat mengambil putusan Majelis Hakim memakai jurus mabuk.

"Saya rasa putusannya itu ngawur, dan pakai jurus mabuk itu Hakim saat memutuskan perkara, karena kan ketika gugatan nya PMH (Perbuatan Melanggar Hukum), dasar hukumnya itu kan pasal 1365 BW, Kitab Undang-undang Hukum Perdata," kata Tri Artanto.

Tri Artanto menuturkan, seharusnya ranahnya itu bukan pada Pengadilan Negeri, tapi ketika dalam putusan itu untuk melakukan tahapan pemilu, kemudian penundaan-penundaan seperti itu, Dosen mata kuliah Hukum Tata Negara itu menyebutkan bahwa domainnya ada pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

"Makanya, Pengadilan Tata Usaha Negara itu kan sama-sama PMH, jadi ada PMH dalam hal ini PMH di Perdata dan PMH di PTUN," ujar Dekan Fakultas Hukum Unrika itu kepada redaksi media ini saat dihubungi via panggilan WhatsApp pribadinya, Minggu (5/3/23).

Lebih lanjut Dr. Tri Artanto menjelaskan, kalau dalam istilah menurut Pasal 1365 BW itu disebutkan Onrech Matige Daad, sedangkan kalau misalnya KPU atau Pemerintah itu disebut Onrechmatige Overheidsdaad. Keduanya sama-sama Perbuatan Melawan Hukum, PMH secara perdata dengan PMH secara Hukum Administrasi Negara.

"Jadi PMH nya beda, ketika putusan KPU itu dianggap putusan pejabat, maka keputusannya sifatnya individual, konkrit and final. Sehingga menganulirnya itu seharusnya Pengadilan Negeri, makannya domainnya sudah berbeda, perkara ini domainnya PTUN," pungkasnya.

Sehingga, menurut Tri Artanto, layak diduga ada kejanggalan terkait pengambilan putusan yang dapat mengakibatkan penundaan pemilu pada 2024 mendatang.

"Jadi, dalam hal ini patut diduga ada pihak luar yang mengintervensi putusan Majelis Hakim tersebut, sehingga putusannya tidak independen, yang dapat mengakibatkan penundaan pemilu, ini yang kita khawatirkan. Sehingga putusan Hakim melebihi kewenangan yang telah diatur dalam UU," tegas Dr. Tri Artanto.

Tri Artanto juga mengatakan, Komisi Yudisial harus turun tangan dalam perkara ini, harus memeriksa Hakim nya.

"Karena Hakim itu tidak bisa membedakan antara PMH yang secara Perdata, itu kan pasal 1365, itu kan ranahnya hukum private. Dan ketika hakim itu menafsirkan pasal 1365, seharusnya ada penafsiran-penafsiran analogis, sehingga menurut saya dia itu meng-analogis terlalu melebar itu," tutup Tri Artanto.

Pendapat serupa juga disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD yang mengatakan bahwa tindakan turut campur memutuskan yang bukan kewenangannya ini sudah keluar dari Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2019.

Menurut aturan tersebut, jika ada perkara administrasi yang masuk ke Pengadilan Negeri, wajib ditolak. Jika sudah terlanjur diperkarakan, Hakim wajib memutuskan perkara tersebut dengan putusan tidak memenuhi ketentuan.

"Kalau dalam Perma keluar, sudah ada kasus sedang diperiksa (diproses), itu nanti di putusan nanti putusannya 'bukan wewenang pengadilan umum', sudah ada itu Perma Nomor 2 Tahun 2019," kata Mahfud dalam keterangan video di kanal YouTube Kemenkopolhukam, Sabtu (4/3/23).

Mahfud MD yang merupakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu juga menegaskan bahwa putusan yang dikeluarkan oleh PN Jakarta Pusat itu tidak bisa dieksekusi.

"Keputusan itu salah kamar dan bisa diabaikan oleh Komisi Pemilihan Umum untuk melanjutkan proses pemilu 2024. Karena ini salah kamar. Ya diabaikan saja kalau misal banding kalah lagi. Diabaikan saja," tegas Mahfud.

Sementara itu, Juru Bicara PN Jakpus, Zulkifli Atjo mengatakan bahwa putusan gugatan Partai Prima terhadap KPU itu belum berkekuatan hukum tetap atau inkracht.

Zulkifli mengatakan, masih banyak ruang bagi pihak tergugat dalam hal ini KPU untuk melakukan upaya hukum lanjutan seperti banding dan kasasi jika tidak sependapat dengan putusan yang telah diketuk oleh majelis hakim tersebut.

"Jadi, upayanya itu ada banding, ada kasasi, ini bukan sengketa partai politik ya. Ini adalah sengketa gugatan melawan hukum. Saya dengar dalam putusan ini KPU sudah menyatakan banding. Tentu kita akan tunggu putusannya apakah Pengadilan Tinggi DKI sependapat dengan PN Jakarta Pusat kita tunggu lagi," kata Zulkifli dikutip dari kompas.com, Minggu (5/3/23). (Js)

Editor : Red

Lebih baru Lebih lama